Semenjak
Jepang menyerah kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945 secara hukum tidak
lagi berkuasa di Indonesia. Pada tanggal 10 September 1945 Panglima Bala
Tentara Kerajaan Jepang diJawa mengumumkan bahwa pemerintahan akan diserahkan
kepada Sekutu dan tidak kepada pihak Indonesia. Pada tanggal 14 September 1945
Mayor Greenhalgh datang di Jakarta. la merupakan perwira Sekutu yang pertama
kali datang ke Indonesia. Tugas Greenhalgh adalah mempelajari dan melaporkan keadaan
di Indonesia menjelang pendaratan rombongan Sekutu.Pada tanggal 29 September
1945 pasukan Sekutu mendarat di Indonesia antara lain bertugas melucuti tentara
Jepang. Tugas ini dilaksanakan Komando Pertahanan Sekutu di Asia Tenggara yang
bernama South East Asia Command (SEAC) di bawah pimpinan Lord Louis Mountbatten
yang berpusat di Singapura. Untuk melaksanakan tugas itu, Mountbatten membentuk
suatu komando khusus yang diberi nama Allied
Forces
Netherland East Indies (AFNEI) di bawah Letnan Jenderal Sir Philip Christison.
Adapun
tugas AFNEI di Indonesia adalah :
1.
menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang;
2.
membebaskan para tawanan perang dan interniran Sekutu;
3.
melucuti dan mengumpulkan orang Jepang untuk kemudian dipulangkan;
4.
menegakkan dan mempertahankan keadaan damai untuk kemudian diserahkan kepada
pemerintah sipil; dan
5.
menghimpun keterangan dan menuntut penjahat perang.
Pasukan
AFNEI mulai mendarat di Jakarta pada tanggal 29 September 1945 yang terdiri
dari tiga divisi yaitu :
1.
Divisi India ke-23, di bawah pimpinan Mayor Jendral D.C. Hawthorn yang bertugas
untuk daerah Jawa Barat;
2.
Divisi India ke-5, di bawah pimpinan Mayor Jenderal E.C. Marsergh yang bertugas
untuk daerah Jawa Timur;
3.
Divisi India ke-26, di bawah pimpinan Mayor Jenderal H.M. Chambers yang bertugas
untuk daerah Sumatra.
Pasukan-pasukan
AFNEI hanya bertugas di Sumatera dan Jawa, sedangkan untuk daerah Indonesia
lainnya diserahkan tugasnya kepada angkatan perang Australia.
Pada
mulanya kedatangan Sekutu disambut dengan senang hati oleh bangsa Indonesia.
Hal ini karena mereka mengumandangkan perdamaian. Akan tetapi, setelah
diketahui bahwa Sekutu secara diam-diam membawa orangorang Netherland Indies
Civil Administration (NICA), yakni pegawai-pegawai sipil Belanda maka bangsa
Indonesia curiga dan akhirnya menimbulkan permusuhan.
Kedatangan Belanda
(NICA) Berupaya untuk Menegakkan Kembali Kekuasaannya di Indonesia
NICA
berusaha mempersenjatai kembali KNIL (Koninklijk Nerderlands Indisch Leger,
yaitu Tentara Kerajaan Belanda yang ditempatkan di Indonesia). Orang-orang NICA
dan KNIL di Jakarta, Surabaya dan Bandung mengadakan provokasi sehingga
memancing kerusuhan. Sebagai pimpinan AFNEI, Christison menyadari bahwa untuk kelancaran
tugasnya diperlukan bantuan dari Pemerintah Republik Indonesia. Oleh karena itu
diadakanlah perundingan dengan pemerintah RI. Christison mengakui pemerintahan
de facto Republik Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1945. la tidak akan
mencampuri persoalan yang menyangkut status kenegaraaan Indonesia. Dalam
kenyataannya pasukan Sekutu sering membuat hura-hara dan tidak menghormati
kedaulatan bangsa Indonesia. Gerombolan NICA sering melakukan teror terhadap
pemimpin-pemimpin kita. Dengan demikian bangsa Indonesia mengetahui bahwa
kedatangan Belanda yang membonceng AFNEI adalah untuk menegakkan kembali
kekuasaannya di Indonesia. Oleh karena itu bangsa kita berjuang dengan
cara-cara diplomasi maupun kekuatan senjata untuk melawan Belanda yang akan
menjajah kembali. Konflik antara Indonesia dengan Belanda ini akhirnya
melibatkan peran dunia intemasional untuk menyelesaikannya.
Peran
Dunia Internasional dalam Penyelesaian Konflik Indonesia-Belanda
1.
Peranan Perserikatan Bangsa-Bangsa
Masuknya
kembali Belanda ke Indonesia dengan membonceng Sekutu ternyata berakibat
konflik yang
berkepanjangan
antara Indonesia dengan Belanda. Untuk itu bangsa Indonesia berjuang dengan
cara diplomasi maupun kekuatan senjata. Pada tanggal 25 Maret 1947 Indonesia
dan Belanda menandatangani Persetujuan Linggajati. Meskipun persetujuan
Linggajati ditandatangani, namun hubungan antara
Indonesia
dengan Belanda semakin memburuk. Belanda melakukan pelanggaran terhadap
persetujuan Linggajati maupun perjanjian gencatan yang diadakan sebelumnya
dengan melancarkan agresi militer terhadap pemerintahan Indonesia pada tanggal
21 Juli 1947. Kota-kota di Sumatera maupun Jawa digempur dengan pasukan
bersenjata lengkap dan modern. Pada tanggal 29 Juli 1947 Pesawat Dakota VT-CLA
yang membawa obat-obatan dari Singapura sumbangan Palang Merah Malaya
(Malaysia) kepada Indonesia ditembak oleh pesawat Belanda di Yogyakarta. Gugur
dalam peristiwa ini di antaranya Komodor Muda Udara A. Adisutjipto dan Komodor
Muda Udara Dr. Abdurrahman Saleh. Bagaimana reaksi dunia luar terhadap tindakan
Belanda yang melakukan tindakan kekerasan terhadap Indonesia tersebut? Pada
tanggal 31 Juli 1947 India dan Australia mengajukan masalah Indonesia- Belanda
ini kepada Dewan Keamanan PBB. Dalam Sidang Dewan Keamanan pada tanggal 1
Agustus 1947 dikeluarkan resolusi yang mengajak kedua belah pihak untuk
menghentikan tembak menembak, menyelesaikan pertikaian melalui perwasitan
(arbitrase) atau dengan cara damai yang lain. Menindaklanjuti ajakan PBB untuk
penyelesaian dengan cara damai, maka Republik Indonesia menugaskan Sutan
Syahrir dan H. Agus Salim sebagai duta yang berbicara dalam sidang Dewan
Keamanan PBB. Sutan Syahrir menyatakan bahwa untuk mengakhiri konflik antara
Indonesia dengan Belanda jalan satu-satunya adalah pembentukan Komisi Pengawas
dalam pelaksanaan resolusi Dewan Keamanan. Ditambahkan pula agar Dewan Keamanan
menerima usul Australia secara keseluruhan dan penarikan pasukan Belanda ke
tempat kedudukan sebelum agresi militer. Usul ini didukung oleh Rusia dan
Polandia. Di samping itu Rusia juga mengusulkan pembentukan Komisi Pengawas
gencatan senjata.
Usul
di atas didukung oleh Amerika Serikat, Australia, Brazilia, Columbia, Polandia,
dan Suriah tetapi diveto Perancis, sebab dianggap terlalu menguntungkan
Indonesia. Pada tanggal 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan PBB menerima usul
Amerika Serikat tentang pembentukan Komisi Jasa-Jasa Baik (Committee of Good
Offices) untuk membantu menyelesaikan pertikaian Indonesia-Belanda. Komisi
inilah yang kemudian dikenal dengan Komisi Tiga Negara (KTN), yang terdiri atas
:
a.
Australia (diwakili oleh Richard C. Kirby), atas pilihan Indonesia,
b.
Belgia (diwakili oleh Paul Van Zeeland), atas pilihan Belanda,
c.
Amerika Serikat (diwakili oleh Dr. Frank Porter Graham), atas pilihan Australia
dan Belgia.
Pada
tanggal 27 Oktober 1947 KTN tiba di Jakarta untuk melaksanakan tugasnya. Dalam
melaksanakan tugasnya, KTN mengalami kesulitan karena Indonesia maupun Belanda
tidak mau bertemu di wilayah yang dikuasai pihak lainnya. Akhirnya KTN berhasil
mempertemukan Indonesia-Belanda dalam suatu perundingan yang berlangsung pada
tanggal 8 Desember 1947 di atas kapal perang Amerika Serikat “Renville” yang
berlabuh di teluk Jakarta. Perundingan ini dikenal dengan perundingan Renville.
Akibat dari perundingan Renville wilayah Rl semakin sempit dan kehilangan
daerah-daerah yang kaya karena diduduki Belanda.
2.
Peranan Konferensi Asia dan Resolusi Dewan Keamanan PBB
Aksi
militer Belanda tanggal 21 Juli 1947 terhadap Republik Indonesia menimbulkan
reaksi dunia luar. Inggris dan Amerika Serikat tidak setuju dengan tindakan
Belanda itu, tetapi ragu-ragu turun tangan. Di antara negara yang tampil
mendukung Indonesia adalah Autralia dan India. Australia mendukung Indonesia
karena ingin menegakkan perdamaian dan keamanan dunia sesuai dengan piagam PBB.
Di samping itu Partai Buruh Australia yang sedang berkuasa sangat simpatik
terhadap perjuangan kemerdekaan. Sedangkan India mendukung Indonesia karena
solidaritas sama-sama bangsa Asia juga senasib karena sebagai bangsa yang
menentang penjajahan. Hubungan Indonesia dengan India terjalin baik terbukti
pada tahun 1946 Indonesia menawarkan bantuan padi sebanyak 500.000 ton untuk
disumbangkan kepada India yang sedang dilanda bahaya kelaparan. Sebaliknya
India juga menawarkan benang tenun, alat-alat pertanian, dan mobil. Pada waktu
Belanda melakukan aksi militernya yang kedua yakni pada tanggal 19 Desember
1948, Perdana Menteri India Pandit Jawaharlal Nehru dan Perdana Menteri Birma
(Myanmar) U Aung San memprakarsai Konferensi Asia. Konferensi ini
diselanggarakan di New Delhi dari tanggal 20 - 23 Januari 1949 yang dihadiri
oleh utusan dari negara-negara Afganistan, Australia, Burma (Myanmar), Sri
Langka, Ethiopia, India, Iran, Iraq, Libanon, Pakistan, Philipina, Saudi
Arabia, Suriah dan Yaman. Hadir sebagai peninjau adalah wakil dari
negara-negara Cina, Nepal, Selandia Baru, dan Muangthai. Wakil-wakil dari
Indonesia yang hadir antara lain Mr. A.A. Maramis, Mr. Utojo, Dr. Surdarsono,
H. Rasjidi, dan Dr. Soemitro Djojohadikusumo. Konferensi Asia tersebut
menghasilkan resolusi yang kemudian disampaikan kepada Dewan Keamanan PBB. Isi
resolusinya antara lain sebagai berikut.
a.
Pengembalian Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.
b.
Pembentukan perintah ad interim yang mempunyai kemerdekaan dalam politik luar
negeri, sebelum tanggal 15 Maret 1949;
c.
Penarikan tentara Belanda dari seluruh Indonesia
d.
Penyerahan kedaulatan kepada pemerintah Indonesia Serikat paling lambat pada
tanggal 1 Januari 1950.
Dengan
adanya dukungan dari negara-negara di Asia, Afrika, Arab, dan Australia
terhadap Indonesia, maka pada tanggal 28 Januari 1949 Dewan Keamanan PBB
mengeluarkan resolusi yang disampaikan kepada Indonesia dan Belanda sebagai
berikut.
a.
Mendesak Belanda untuk segera dan sungguh-sungguh menghentikan seluruh operasi
militernya dan mendesak pemerintah RI untuk memerintahkan kesatuan-kesatuan
gerilya supaya segera menghentikan aksi gerilya mereka.
b.
Mendesak Belanda untuk membebaskan dengan segera tanpa syarat Presiden dan
Wakil Presiden beserta tawanan politik yang ditahan sejak 17 Desember 1948 di
wilayah RI; pengembalian pemerintahan RI ke Yogyakarta dan membantu
pengembalian pegawai-pegawai RI ke Yogyakarta agar mereka dapat menjalankan
tugasnya dalam suasana yang benar-benar bebas.
c.
Menganjurkan agar RI dan Belanda membuka kembali perundingan atas dasar
persetujuan Linggar jati dan Renville, dan terutama berdasarkan pembentukan
suatu pemerintah ad interim federal paling lambat tanggal 15 Maret 1949,
Pemilihan untuk Dewan Pembuatan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Serikat
selambat-Iambatnya pada tanggal l Juli 1949.
d.
Sebagai tambahan dari putusan Dewan Keamanan, Komisi Tiga Negara diubah menjadi
UNCI (United Nations Commission for Indonesia = Komisi PBB untuk Indonesia
dengan kekuasaan yang lebih besar dan dengan hak mengambil keputusan yang
mengikat atas dasar mayoritas. Tugas UNCI adalah membantu melancarkan
perundingan-perundingan untuk mengurus pengembalian kekuasaan pemerintah
Republik; untuk mengamati pemilihan dan berhak memajukan usul-usul mengenai
berbagai hal yang dapat membantu tercapainya penyelesaian.
Resolusi
itu dirasa oleh bangsa Indonesia masih ada kekurangan yakni bahwa Dewan
Keamanan PBB tidak mendesak Belanda untuk mengosongkan daerah-daerah RI selain
Yogyakarta. Di samping itu Dewan Keamanan tidak memberikan sanksi atas
pelanggaran terhadap resolusinya. Akan tetapi, bangsa Indonesia sebagai bangsa
yang cinta damai maka selalu menaati semua isi resolusi sepanjang sesuai dengan
prinsip Indonesia Merdeka dan sikap berperang untuk mempertahankan diri.
0 komentar:
Posting Komentar