Faktor Yang Mempengaruhi Disintegrasi Bangsa :
- Geografi : Keadaan geografi indonesia yang memiliki
banyak pulau juga merupakan salah satu penyebab Disintegrasi,
ketidakmerataan pembangunan tiap pulau serta kekayaan alam yang berbeda
tiap pulau akan menjadi faktor penyebab disintegrasi suatu negara.
- Demografi : Meledaknya jumlah penduduk Indonesia
dengan sumber daya manusia rendah akan menambah jumlah kemiskinan.
Masyarakat yang memiliki SDM rendah ini akan mudah dipengaruhi, sehingga
mereka akan merasakan ketidakadilan terhadap pemerintah yang menimbulkan
gerakan separatisme.
- Kekayaan Alam : Kekayaan alam yang berbeda tiap pulau
membuat pembangunan tiap daerah tidak merata, akibatnya akan ada perbedaan
pembangunan yang cukup besar, dimana suatu kota / pulau akan sangat tinggi
dan juga akan sangat rendah.
- Ideologi : Ideologi negara Indonesia yaitu Pancasila,
akan tetapi semakin kesini paham akan idelogi semakin memudar dan
akibatnya masyarakat mudah dipengaruhi kelompok - kelompok tertentu demi
kepentingan mereka pribadi.
- Politik : Politik di Indonesia kini semakin banyak
masalah, mereka hanya ingin mengutamakan kepentingan partai politik mereka
sendiri dibandingkan demi negara.
- Ekonomi : Kurangnya kesejahteraan rakyat, membuat
kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan, hal ini juga
disebabkan karenan kurangnya efektivitas pemerintahan dalam mengatur
sistem ekspor dan impor.
- Sosial Budaya : Akibat dari keadaan geografi Indonesia
yang berpulau - pulau mengakibatkan lahirnya banyak budaya yang berbeda (
suku, agama, budaya dan ras ), kurangnya toleransi di dalam masyarakat ini
akan mudah terjadi konflik antar daerah.
- Pertahanan Dan
Keamanan : Ancaman
kedaulatan bisa berasal dari dalam ataupun di luar negeri, selain sarana
dan prasarana untuk pertahanan dan keamanan juga dibutuhkan rasa kesatuan
di dalam masyarakat.
Sejarah disintegrasi
/pergolakan dan konflik yang terjadi di Indonesia selama masa tahun 1948-1965
dalam bab ini akan dibagi ke dalam tiga bentuk pergolakan :
1. Peristiwa
konflik dan pergolakan yang berkaitan dengan ideologi
Termasuk dalam
kategori ini adalah pemberontakan PKI Madiun, pemberontakan DI/TII dan
peristiwa G30S/PKI. Ideologi yang diusung oleh PKI tentu saja komunisme,
sedangkan pemberontakan DI/TII berlangsung dengan membawa ideologi agama. Perlu
kalian ketahui bahwa menurut Herbert Feith, seorang akademisi Australia, aliran
politik besar yang terdapat di Indonesia pada masa setelah kemerdekaan
(terutama dapat dilihat sejak Pemilu 1955) terbagi dalam lima kelompok :
nasionalisme radikal (diwakili antara lain oleh PNI), Islam (NU dan Masyumi),
komunis (PKI), sosialisme demokrat (Partai Sosialis Indonesia/ PSI), dan
tradisionalis Jawa (Partai Indonesia Raya/PIR, kelompok teosofis/ kebatinan,
dan birokrat pemerintah/pamongpraja). Pada masa itu kelompokkelompok tersebut
nyatanya memang saling bersaing dengan mengusung ideologi masing-masing.
2. Peristiwa konflik dan pergolakan yang
berkait dengan kepentingan (vested interest).
Termasuk dalam
kategori ini adalah pemberontakan APRA, RMS dan Andi Aziz.Vested Interest merupakan kepentingan yang tertanam
dengan kuat pada suatu kelompok. Kelompok ini biasanya berusaha untuk
mengontrol suatu sistem sosial atau kegiatan untuk keuntungan sendiri. Mereka
juga sukar untuk mau melepas posisi atau kedudukannya sehingga sering
menghalangi suatu proses perubahan. Baik APRA, RMS dan peristiwa Andi Aziz,
semuanya berhubungan dengan keberadaan pasukan KNIL atau Tentara Kerajaan (di) Hindia
Belanda, yang tidak mau menerima kedatangan tentara Indonesia di wilayah-wilayah
yang sebelumnya mereka kuasai. Dalam situasi seperti ini, konflikpun terjadi.
3. Peristiwa konflik dan pergolakan yang berkait
dengan sistem pemerintahan.
Termasuk dalam
kategori ini adalah persoalan negara federal dan BFO (Bijeenkomst Federal
Overleg), serta pemberontakan PRRI dan Permesta. Masalah yang berhubungan
dengan negara federal mulai timbul ketika berdasarkan perjanjian Linggajati,
Indonesia disepakati akan berbentuk negara serikat/federal dengan nama Republik
Indonesia Serikat (RIS). RI menjadi bagian RIS. Negara-negara federal lainnya
misalnya adalah negara Pasundan, negara Madura atau Negara Indonesia Timur. BFO
sendiri adalah badan musyawarah negara-negara federal di luar RI, yang dibentuk
oleh Belanda. Awalnya, BFO berada di bawah kendali Belanda. Namun makin lama
badan ini makin bertindak netral, tidak lagi melulu memihak Belanda. Pro-kontra
tentang negara-negara federal inilah yang kerap juga menimbulkan pertentangan. Sedangkan
pemberontakan PRRI dan Permesta merupakan pemberontakan yang terjadi akibat
adanya ketidakpuasan beberapa daerah di wilayah Indonesia terhadap pemerintahan
pusat.
1,Konflik dan Pergolakan yang Berkaitan
dengan Ideologi.
a.PKI Madiun 1948
Membahas tentang pemberontakan PKI di Madiun tidak bisa lepas dari jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin tahun 1948. Mengapa kabinet Amir jatuh? Jatuhnya kabinet Amir disebabkan oleh kegagalannya dalam Perundingan Renville yang sangat merugikan Indonesia. Untuk merebut kembali kedudukannya,pada tanggal 28 Juni 1948 Amir Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) Untuk memperkuat basis massa, FDR membentuk organisasi kaum petani dan buruh. Selain itu dengan memancing bentrokan dengan menghasut buruh. Puncaknya ketika terjadi pemogokan di pabrik karung Delanggu (Jawa Tengah) pada tanggal 5 Juli 1959. Pada tanggal 11 Agustus 1948, Musso tiba dari Moskow. Amir dan FDR segera bergabung dengan Musso. Untuk memperkuat organisasi, maka disusunlah doktrin bagi PKI. Doktrin itu bernama Jalan Baru. PKI banyak melakukan kekacauan, terutama di Surakarta.
Oleh PKI daerah Surakarta dijadikan
daerah kacau (wildwest). Sementara Madiun dijadikan basis gerilya. Pada tanggal
18 September 1948, Musso memproklamasikan berdirinya pemerintahan Soviet di
Indonesia. Tujuannya untuk meruntuhkan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan menggantinya dengan negara komunis. Pada waktu yang bersamaan,
gerakan PKI dapat merebut tempat-tempat penting di Madiun. Untuk menumpas
pemberontakan PKI, pemerintah melancarkan operasi militer. Dalam hal ini peran
Divisi Siliwangi cukup besar. Di samping itu, Panglima Besar Jenderal Soedirman
memerintahkan Kolonel Gatot Subroto di Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono di Jawa
Timur untuk mengerahkan pasukannya menumpas pemberontakan PKI di Madiun. Dengan
dukungan rakyat di berbagai tempat, pada tanggal 30 September 1948, kota Madiun
berhasil direbut kembali oleh tentara Republik. Pada akhirnya tokoh-tokoh PKI
seperti Aidit dan Lukman melarikan diri ke Cina dan Vietnam. Sementara itu,
tanggal 31 Oktober 1948 Musso tewas ditembak. Sekitar 300 orang ditangkap oleh
pasukan Siliwangi pada tanggal 1 Desember 1948 di daerah Purwodadi, Jawa
Tengah.
Dengan ditumpasnya pemberontakan
PKI di Madiun, maka selamatlah bangsa dan negara Indonesia dari rongrongan dan
ancaman kaum komunis yang bertentangan dengan ideologi Pancasila. Penumpasan
pemberontakan PKI dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri, tanpa bantuan apa
pun dan dari siapa pun. Dalam kondisi bangsa yang begitu sulit itu, ternyata RI
sanggup menumpas pemberontakan yang relatif besar oleh golongan komunis dalam
waktu singkat.
b. Pembrotakan DI/TII ( Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia)
1.DI/TII Jawa Barat
Sekar Marijan Kartosuwiryo mendirikan Darul Islam (DI) dengan tujuan menentang penjajah Belanda di Indonesia. Akan tetapi, setelah makin kuat, Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) pada tanggal 17 Agustus 1949 dan tentaranya dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII).
Kartosuwiryo adalah seorang
pemimpin pergerakan umat Islam yang mencita-citakan berdirinya suatu negara
Islam di Indonesia sejak jaman Hindia Belanda.Gerakan Kartosuwiryo berpusat di
Jawa Barat, tetapi pengaruhnya meluas hingga ke Jawa Tengah, Aceh, Sulawesi
Selatan, dan Kalimantan Selatan.
Sesuai dengan salah satu isi
perjanjian Renville, RI harus menarik seluruh pasukannya dari daerah Kantong.
Akan tetapi, Kartosuwiryo beserta poasukan Hizbullah dan Sabililah yang berada
di bawah pengaruhnya tetap tinggal di Jawa Barat. Setelah Divisi Siliwangi
hijrah, Kartosuwiryo lebih leluasa melaksanakan gerakannya.
Ketika pasukan Siliwangi kembali
dari Jawa Tengah untuk melakukan perang gerilya, setelah Belanda melancarkan
Agresi Belanda II, mereka menjumpai kesatuan-kesatuan bersenjata yang menamakan
dirinya Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia. Kesatuan bersenjata itu berusaha
menarik TNI agar ikut bergabung dan menghalangi Divisi Siliwangi kembali ke
Jawa barat. Karenanya pertempuranpun tidak dapat dielakan
Dalam usaha menumpas pemberontakan
DI/TII dilaksankan operasi militer mulai tanggal 27 Agustus 1949 akan tetapi
perasi ini tidak berjalan dengan lancar.kemudian setelah dilaksankan operasi militer yang disebut Operasi
Bharatayuda. Dengan taktik Pagar Betis. Pada tanggal 4 juni 1962, Kartosuwiryo
berhasil ditanggap oleh pasukan Siliwangi di Gunung Geber, Majalaya, Jawa
Barat. Akhirnya Kartosuwiryo dijatuhi hukuman mati 16 Agustus 1962.
2.DI/TII Jawa Tengah
Gerakan DI/TII juga menyebar ke
Jawa Tengah, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Gerakan DI/TII di Jawa Tengah yang
dipimpin oleh Amir Fatah di bagian utara, yang bergerak di daerah Tegal,
Brebes dan Pekalongan. Setelah bergabung dengan Kartosuwiryo, Amir Fatah
kemudian diangkat sebagai komandan pertempuran Jawa Tengah dengan pangkat Mayor
Jenderal Tentara Islam Indonesia. Untuk menghancurkan gerakan ini, Januari 1950
dibentuk Komando Gerakan Banteng Negara (GBN) dibawah Letkol Sarbini,
selanjutnya diganti Letnan Kolonel M.Bachrum dan kemudian diganti LetKol
A.Yani. Pemberontakan di Kebumen dilancarkan oleh Angkatan Umat Islam
(AUI) yang dipimpin oleh Kyai Moh. Mahfudz Abdulrachman (Romo Pusat atau Kiai
Sumolanggu) Gerakan ini berhasil dihancurkan dengan operasi militer yang disebut Operasi
Gerakan Banteng Nasional dari Divisi Diponegoro. Gerakan DI/TII itu pernah
menjadi kuat karena pemberontakan Batalion 426 di Kedu dan Magelang/ Divisi
Diponegoro. Untuk menumpas kemudian dilancarkan Operasi Merdeka Timur yang
dipimpin Lekol Soeharto, komandan Brigade Pragola dan baru dapat
ditumpad pada awal rahun 1952
Didaerah Merapi-Merbabu juga telah
terjadi kerusuhan-kerusuhan yang dilancarkan oleh Gerakan oleh Gerakan
Merapi-Merbabu Complex (MMC). Gerakan ini juga dapat dihancurkan. Untuk
menumpas gerakan DI/TII di daerah Gerakan Banteng Nasional dilancarkan operasi
Banteng Raiders. Dan dapat dilumpuhkan bulan Juni 1954
3.DI/TII Aceh
Adanya berbagai masalah
antara lain masalah otonomi daerah, pertentangan antar golongan, serta
rehabilitasi dan modernisasi daerah yang tidak lancar,ketidakpuasan pembentukan
daerah Aceh sebagai satu keresidenan dalam propinsi Sumatera Utara menjadi
penyebab meletusnya pemberontakan DI/TII di Aceh. Gerakan DI/TII di Aceh
dipimpin oleh Tengku Daud Beureueh yang pada tanggal 20 September 1953
memproklamasikan daerah Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia dibawah
pimpinan Kartosuwiryo.
Untuk menumpas pemberontakan Daud
Beureuh pemerintah mengambil langkah
dengan melqancarkan operasi militer dan melakukan musyawarah. Penyelesaian akhir
pemberontakan Daud Beureuh dilakukan dengan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh
pada tanggal 17s/d 28 Desember 1962. Musyawarah ini atas prakasra panglima
Kodam I Iskandar Muda, Kol M Yasin yang berhasilmemulihkan kembali keamanan
daerah Aceh. Dan Daud Beureuh akhirnya mau memenuhi seruan pemerintah untuk
mengakhiri pemberontakan.
3.
DI/TII Sulawesi Selatan
Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Muzakar, yang semula adalah bekas pejuang di Pulau Jawa.Sekembalinya ke SulawesiSelatan, Kahar Muzakar menghimpun dan memimpin laskar-laskar gerilya di wilayah ini, yang kemudian bergabung dalam Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS ). Akan tetapi permasalahan kemudian timbul karena Pemerintah berencana membubarkan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan anggotanya disalurkan ke masyarakat. Tenyata Kahar Muzakar menuntut agar Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dan kesatuan gerilya lainnya dimasukkan dalam satu brigade yang disebut Brigade Hasanuddin di bawah pimpinanya. Tuntutan itu ditolak karena banyak diantara mereka yang tidak memenuhi syarat untuk dinas militer. Pemerintah mengambil kebijaksanaan menyalurkan bekas gerilyawan itu ke Corps Tjadangan Nasional (CTN). Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara dan Tetorium VII, Kahar Muzakar beserta para pengikutnya melarikan diri ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan mengadakan pengacauan. Kahar Muzakar mengubah nama pasukannya menjadi Tentara Islam Indonesia dan menyatakan sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1953. Tanggal 3 Februari 1965, Kahar Muzakar tertembak mati oleh pasukan TNI Divisi Siliwangi
4.
DI/TII di Kalimantan Selatan
Pada bulan oktober 1950 terjadi pemberontakan kesatuan Rakyat yang
Tertindas (KryT) yang dipimpin oleh Ibnu Hajar alias Hader bin Umar alias Angli
Ia dalah bekas letnan dua TNI. Ia
bersama KryT menyatakan diri sebagai bagian dari DI/TII Jawa Barat. Target
serangan mereka adalah pos-pos TNI di wilayah tersebut. Saat itu pemerintah
memberi kesempatan untuk menghentikan pemberontakan secara baik-baik. Ibnu
Hajar akhirnya menyerahkan diri. Namu ternyata ia berpura-pura. Setelah
mendapatkan peralatan TNI ia melarikan diri. Akhirnya pemerintah melakukan
Gerakan Operasi Militer (GOM). Pada tahun 1959 Ibnu Hajar berhasil ditangkap
dan dijatuhi hukuman mati pada 22 maret 1965
1). Kondisi Politik Menjelang G 30 S/PKI
Doktrin Nasakom yang dikembangkan
oleh Presiden Soekarno memberi keleluasaan PKI untuk memperluas pengaruh. Usaha
PKI untuk mencari pengaruh didukung oleh kondisi ekonomi bangsa yang semakin
memprihatinkan. Dengan adanya nasakomisasi tersebut, PKI menjadi salah satu
kekuatan yang penting pada masa Demokrasi Terpimpin bersama Presiden Soekarno
dan Angkatan Darat. Pada akhir tahun 1963, PKI melancarkan sebuah gerakan yang
disebut “aksi sepihak”. Para petani dan buruh, dibantu para kader PKI,
mengambil alih tanah penduduk, melakukan aksi demonstrasi dan pemogokan. Untuk
melancarkan kudeta, maka PKI membentuk Biro Khusus yang diketuai oleh Syam
Kamaruzaman. Biro Khusus tersebut mempunyai tugas-tugas berikut.
a.
Menyebarluaskan pengaruh dan
ideologi PKI ke dalam tubuh ABRI.
b.
Mengusahakan agar setiap anggota
ABRI yang telah bersedia menjadi anggota PKI dan telah disumpah dapat membina
anggota ABRI lainnya.
c.
Mendata dan mencatat para anggota
ABRI yang telah dibina atau menjadi pengikut PKI agar sewaktu-waktu dapat
dimanfaatkan untuk kepentingannya.
Memasuki tahun 1965 pertentangan
antara PKI dengan Angkatan Darat semakin meningkat. D.N. Aidit sebagai
pemimpin PKI beserta Biro Khususnya, mulai meletakkan siasat-siasat untuk
melawan komando puncak AD. Berikut ini siasat-siasat yang ditempuh oleh Biro
Khusus PKI.
a.
Memojokkan dan mencemarkan komando
AD dengan tuduhan terlibat dalam persekongkolan (konspirasi) menentang RI,
karena bekerja sama dengan Inggris dan Amerika Serikat.
b.
Menuduh komando puncak AD telah
membentuk “Dewan Jenderal” yang tujuannya menggulingkan Presiden Soekarno.
c.
Mengorganisir perwira militer yang
tidak mendukung adanya “Dewan Jenderal”
d.
.Mengisolir komando AD dari
angkatan-angkatan lain.
e.
Mengusulkan kepada pemerintah agar
membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari para buruh dan petani yang
dipersenjatai.
Ketegangan politik antara PKI dan TNI AD mencapai puncaknya setelah
tanggal 30 September 1965 dini hari, atau awal tanggal 1 Oktober 1965. Pada
saat itu terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap para perwira Angkatan
Darat.
2. Seputar Penculikan Para Jenderal AD, Usaha Kudeta, dan Operasi Penumpasan
Peristiwa penculikan dan pembunuhan terhadap para perwira AD, kemudian dikenal Gerakan 30 S/PKI. Secara rinci para pimpinan TNI yang menjadi korban PKI ada 10 orang, yaitu 8 orang di Jakarta dan 2 orang di Yogyakarta. Mereka diangkat sebagai Pahlawan Revolusi.
2). Berikut ini para korban
keganasan PKI.
a.
Di Jakarta
1) Letjen Ahmad Yani, Men/Pangad.
2) Mayjen S.Parman, Asisten I Men/Pangad.
3) Mayjen R. Suprapto, Deputi II Men/Pangad.
4) Mayjen Haryono, M.T, Deputi III Men/Pangad.
5) Brigjen D.I. Panjaitan, Asisten IV Men/Pangad.
6) Brigjen Sutoyo S, Inspektur Kehakiman/Oditur Jendral TNI AD.
7) Lettu Piere Andreas Tendean, Ajudan Menko Hankam/ Kepala Staf Angkatan Bersenjata.
8) Brigadir Polisi Karel Sasuit Tubun, Pengawal rumah Wakil P.M. II Dr. J. Leimena.
b. Di Yogyakarta
1) Kolonel Katamso D, Komandan Korem 072 Yogyakarta.
2) Letnan Kolonel Sugiyono M., Kepala Staf Korem 072 Yogyakarta.
Jenderal Nasution berhasil meloloskan diri. Akan tetapi putrinya Ade Irma Suryani
tertembak yang akhirnya meninggal tanggal 6 Oktober 1965, dan salah satu
ajudannya ditangkap. Ajudan Nasution (Lettu Pierre A. Tendean), mayat tiga
jenderal, dan tiga jenderal lainnya yang masih hidup dibawa menuju Halim. Di
Halim, para jenderal yang masih hidup dibunuh secara kejam. Sejumlah anggota
Gerwani dan Pemuda Rakyat terlibat dalam aksi pembunuhan tersebut. Ketujuh
mayat kemudian dimasukkan dalam sebuah sumur yang sudah tidak dipakai lagi di
Lubang Buaya. Untuk mengenang peristiwa yang mengerikan tersebut, di
Lubang Buaya dibangun Monumen Pancasila Sakti. Peristiwa
pembunuhan juga terjadi di daerah Yogyakarta. Komandan Korem 072 Yogyakarta
Kolonel Katamso dan Kepala Stafnya Letkol Sugiyono diculik dan dibunuh oleh
kaum pemberontak di Desa Kentungan. Pagi hari sekitar jam 07.00 WIB Letkol
Untung berpidato di RRI Jakarta. Dalam pidatonya, Letkol Untung
mengatakan bahwa “Gerakan 30 September” adalah suatu kelompok militer yang
telah bertindak untuk melindungi Presiden Soekarno dari kudeta. Kudeta itu direncanakan
oleh suatu dewan yang terdiri atas jenderal-jenderal Jakarta yang korup yang
menikmati penghasilan tinggi dan menjadi kaki tangan CIA (Agen Rahasia
Amerika). Setelah mendengar pidato Letkol Untung di RRI, timbul kebingungan di
dalam masyarakat. Presiden Soekarno berangkat menuju Halim. Presiden
mengeluarkan perintah agar seluruh rakyat Indonesia tetap tenang dan
meningkatkan kewaspadaan, serta menjaga persatuan. Diumumkan pula bahwa
pimpinan Angkatan Darat untuk sementara waktu berada langsung di tangan
presiden sebagai Panglima Tertinggi ABRI. Selain itu melaksanakan tugas
seharihari ditunjuk Mayjen Pranoto. Namun, di saat yang sama, tanpa sepengetahuan
presiden Mayjen Soeharto mengangkat dirinya sebagai pimpinan AD.
3). Penumpasan G 30 S/PKI
Pada tanggal 2 Oktober 1965 Presiden Soekarno memanggil semua panglima angkatan ke Istana Bogor. Dalam pertemuan tersebut Presiden Soekarno mengemukakan masalah penyelesaian peristiwa G 30 S/PKI. Dalam rangka penjelasan G 30 S/PKI, presiden menetapkan kebijaksanaan berikut.
a.Penyelesaian aspek politik akan diselesaikan sendiri oleh presiden.
b.Penyelesaian aspek
militer dan administratif diserahkan kepada Mayjen Pranoto
c.Penyelesaian
militer teknis, keamanan, dan ketertiban diserahkan kepada Mayjen Soeharto
Upaya Penumpasan G-30S/PKI
Setelah melakukan aksinya, Letkol Untung
kemudian mengumandangkan berdirinya Dewan Revolusi yang selanjutnya bertindak
sebagai pemegang kekuasaan dan keamanan negara. Dewan Revolusi ini diketuai
oleh Letkol Untung dengan wakil Brigjen Suparjo.
Melihat hal tersebut, Mayjen Soeharto segera
melakukan tindakan tegas. Ia lalu menyuruh Sarwo Edhi Wibowo selaku RPKAD untuk
mengamankan keadaan. Dengan sekejap pasukan Sarwo Edhi berhasil menguasai RRI.
Dalam siaran tanggal 1 Oktober 1965 malam, Mayjen Soeharto menegaskan bahwa
G-30S/PKI adalah pemberontakan dan Presiden Soekarno dalam keadaan selamat.
Pada tanggal 1 Oktober juga, TNI dapat
menguasai pangkalan udara Halim Perdanakusumah dan Lubang Buaya. Lalu, pada
tanggal 2 Oktober 1965 jenazah perwira TNI AD berhasil di temukan di Lubang
Buaya dan pada tanggal 5 Oktober 1965 jenazah pahlawan revolusi dikebumikan di
TMP Kalibata. sementara jenazah Kolonel Katamso dan Letkol Sugiyono yang
menjadi korban Gestapu di Yogya baru ditemukan tanggal 19 Oktober 1965.
Sementara itu, beberapa orang yang terlibat
dalam Gestapu terus melarikan diri ke berbagai tempat di Pulau Jawa. Akan
tetapi, usaha penumpasan G-30S/PKI terus dilakukan di berbagai tempat. Akhirnya
Letkol Untung dapat ditangkap di Tegal pada tanggal 11 Oktober 1965 dan
pimpinan PKI waktu itu, D.N. Aidit ditangkap di Surakarta tanggal 22 November
1965. Selain itu, banyak pula tokoh PKI lain yang ditangkap. Kemudian mereka
diajukan ke Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub) untuk diadili.
Akibat dari Gestapu tersebut adalah munculnya
demonstrasi menentang PKI. Para demonstran menuntut dibubarkannya PKI. Pada
demonstrasi ini, gugurlah mahasiswa Universitas Indonesia, Arif Rahman Hakim
yang mendapat gelar pahlawan Ampera (Amanat penderitaan rakyat).
Akhirnya, pada tanggal 11 Maret 1966 lahirlah
Supersemar yang isinya memberikan amanat kepada Letjen Soeharto untuk mengambil
segala tindakan demi mencapai keamanan dan ketenangan. lalu, pada tanggal 12
Maret 1966, PKI dinyatakan partai terlarang di seluruh Indonesia dan pada
tanggal 18 Maret 1966 dilakukan pembersihan kabinet dari orang-orang yang
diduga terlibat Gestapu. Dengan lahirnya Supersemar inilah sebagai awal
dimulainya orde baru
4). Dampak Sosial Politik dari Peristiwa G 30 S/PKI
Berikut ini dampak sosial politik dari G 30 S/PKI.
a. Secara politik telah lahir peta kekuatan politik baru yaitu tentara AD.
b. Sampai bulan Desember 1965 PKI telah hancur sebagai kekuatan politik di Indonesia.
c. Kekuasaan dan pamor politik Presiden Soekarno memudar.
d. Secara sosial telah terjadi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang PKI atau”dianggap PKI”, yang tidak semuanya melalui proses pengadilan dengan jumlah yang relatif banyak.
5.Pendapat para ahli tentang peristiwa G-30-S-1965/ PK
Konsekuensi dari peristiwa yang samar dan melibatkan berbagai pihak menimbulkan penafsiran yang cukup beragam. Peristiwa Penculikan yang diikuti dengan perebutan kekuasaan serta pembasmian terhadap orang yang dianggap musuh politik menjadi suatu topik yang neraik, kompleks, membingungkan sekaligus menantang. Beberapa versi yang ada, antara lain:
a. Pertama, interpretasi yang menekankan bahwa pelaku utama G 30 S
adalah PKI. Sejak awal PKI telah berusaha merintis usaha untuk merebut
kekuasaan, termasuk menyusupkan orang-orangnya ke kelompok lain, termasuk AD.
Dewan Revolusi yang melakukan penculikan terhadap sejumlah perwira AD hanyalah
organ pelaksana yang sejak awal sudah dikenaro oleh PKI. Pandangan ini antara
lain dikemukakan oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh
melalui bukunya (Tragedi Nasional, Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesa),
Sekretariat Negara ( Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis
Indonesia; Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya), Arnold Brackman ( The
Communist Collapse in Indonesia).
b. Kedua, suatu interpretasi yang menekankan bahwa pelaku utama dari
gerakan ini adalah Angkatan Darat sendiri. Konflik internal AD, terutama antara
perwira senior yang konservatif dan suka hidup mewah dengan para perwira
progresif yang prihatin dengan kehidupan masyarakat yang banyak susah sementara
beberapa perwira tinggi militer justru hidup mewah. Termasuk diantaranya yang
beranggapan bahwa kasus ini sebenarnya hanya terkait dengan Divisi Diponegoro.
Beberapa pengarang yang beranggapan semacam ini antara lain MR
Siregar (Tragedi Manusia dan Kemanusiaan, Kasus Indonesia: Sebuah
Holokaus yang Diterima sesudah Perang Dunia Kedua), Coen Holtsappel (The 30
September Movement), Anderson dan Ruth McVey (A
Preliminary Analysis of the October 1, 1965: Coup in Indonesia)
c. Ketiga, pelaku utama dan kemudian yang harus bertanggungjawab
terhadap peristiwa G 30 S adalah Letnan Jenderal Suharto sendiri. Dia yang
sejak awal sudah diberitahu oleh Latief akan rencana penculikan serta
tindakannya yang dengan cepat menumpas kelompok pemberontak hanya mungkin dapat
dilaksanakan kalau yang bersangkutan tahu betul scenario yang ada. Beberapa
tulisan yang terkait dengan interpretasi ini adalah Wimandjaya K.Litohoe
(Primadosa), Imam Soedjono (Yang Berlawan, Membongkar Tabir Pemalsuan
Sejarah PKI)
d. Keempat, Pandangan yang beranggapan bahwa pelaku utama dari peristiwa
G 30 S adalah Presiden Sukarno sendiri. Para perwira yang tergabung dalam Dewan
revolusi merupakan tokoh-tokoh yang sangat mengagumi Presiden Sukarno sekaligus
sangat dekat dengan Presiden Sukarno. Termasuk beberapa tokoh di luar AD yang
kemudian bertemu di Halim Perdanakusumah merupakan orang-orang dekat Sukarno.
Presiden yang berusaha memperkuat posisinya ingin pimpinan AD semakin tunduk
dan setia dengan kepemimpinannya. Tulisan ini antara lain dianut oleh Antonie
C.A.Dake (In The Spirit of The Red Banteng: Indonesian Communism
between Moscow and Peking, Sukarno File, Berkas-berkas Soekarno 1965-1967,
Kronologi suatu keruntuhan) Soegiarso Soerojo (Siapa menabur
Angin akan menuai Badai), John Hughes ( The End of Soekarno), Ulf
Sundhaussen (Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwifungsi
ABRI).
e. Kelima, Pandangan yang beranggapan bahwa peristiwa yang terjadi
merupakan hasil skenario dari kekuatan yang diorganisir dan direncanakan oleh
agen rahasia Amerika, CIA. Amerika yang sejak awal berusaha menguasai
Indonesia, paling tidak menjadikan Indonesia sebagai sekutunya terus berusaha
memperkuat pengaruhnya di Indonesia. Untuk itu Amerika sangat berkepentingan
mengganti posisi Presiden Sukarno serta menyingkirkan pengaruh dan kekuatan
PKI. Tulisan ini antara lain dikembangkan oleh Greg Poulgrain ( The
Genesis of Confrontation: Malaysia, Brunei and Indonesia, 1945-1965).
f. Keenam, pandangan yang beranggapan bahwa pelaku G 30 S tidak
tunggal. Pandangan ini juga masih beragam; antara lain; yaitu yang beranggapan
bahwa ada konspirasi antara kekuatan AD dengan kekuatan asing, khususnya
Amerika dan Inggris. Anggapan ini antara lain dikembangkan oleh Harsutejo
(G 30 S Sejarah yang digelapkan Tangan berdarah CIA dan Rejim Suharto),
Di samping itu juga ada yang beranggapan bahwa peristiwa G 30 S adalah
konspirasi antara Presiden Sukarno, PKI dan RRC sebagaimana yang kembangkan
oleh Victor
M. .Fic (Kudeta 1 Oktober 1965, Sebuah Studi tentang Konspirasi).
Sementara juga ada yang beranggapan bahwa pelaku dari G 30 S adalah perpaduan
antara pimpinan PKI yang keblinger, kecerdikan subversi nekolim dan adanya
oknum-oknum yang tidak bera. Pandangan ini antara lain dikemukakan oleh Presiden
Sukarno (Pelengkap Nawaksara
Dari uraian
singkat di atas, kita bisa melihat bahwa ternyata memang tidak mudah untuk bisa
menentukan dengan pasti siapa dibalik G30S. Setiap kesimpulan yang dibuat akan
dibantah oleh yang lain sehingga tidak akan ada kesimpulan yang diterima oleh
semua pihak. Setiap orang mempunyai kesimpulan sesuai pengalaman dan keyakinan
masing-masing yang sifatnya individual
.
5. Dampak sosial-politik dari peristiwa G-30-S-1965/ PKI di dalam masyarakat
5. Dampak sosial-politik dari peristiwa G-30-S-1965/ PKI di dalam masyarakat
a.
Sosial
Menanggapi peristiwa G 30 S PKI presiden Soekarno bersikap kurang tegas sehingga menimbulkan reaksi dari rakyat terutama kalangan mahsiswa dan pelajar yang mendapat dukungan ABRI. Secara sosial telah terjadi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-
orang PKI atau”dianggap PKI”, yang tidak semuanya melalui proses pengadilan dengan jumlah yang relatif banyak.
Menanggapi peristiwa G 30 S PKI presiden Soekarno bersikap kurang tegas sehingga menimbulkan reaksi dari rakyat terutama kalangan mahsiswa dan pelajar yang mendapat dukungan ABRI. Secara sosial telah terjadi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-
orang PKI atau”dianggap PKI”, yang tidak semuanya melalui proses pengadilan dengan jumlah yang relatif banyak.
b.
Ekonomi
Terjadinya kondisi harga barang-barang naik dan terjadi inflasi sangat tinggi bahkan melebihi 600% setahun.
Terjadinya kondisi harga barang-barang naik dan terjadi inflasi sangat tinggi bahkan melebihi 600% setahun.
c.
Upaya mengatasi inflasi
• Mengadakan devaluasi rupiah lama menjadi rupiah baru, dari Rp 1000 menjadi Rp 100 uang baru
• Menaikkan harga bahan bakar menjadi empat kali lipat sejak 1 Januari 1966 yang mengakibatkan naiknya harga-harga barang secar tidak terkendali
• Mengadakan devaluasi rupiah lama menjadi rupiah baru, dari Rp 1000 menjadi Rp 100 uang baru
• Menaikkan harga bahan bakar menjadi empat kali lipat sejak 1 Januari 1966 yang mengakibatkan naiknya harga-harga barang secar tidak terkendali
d. Dampak Politik
Munculnya gelombang aksi menentang ketidak tegasan Presiden Soekarno tentang peristiwa G 30 S PKI terutama dari kalangan mahasiswa dan pelajar misalnya KAMI, KAPPI,KAPI KAWI,KABI yang kemudian mengeluarkan tuntutan yang dikenal dengan TRITURA ( Tiga Tuntutan Rakyat ) pada 10 Januari 1966 yang berisi :
a. Pembubaran PKI
b. Pembersihan kabinet Dwikora dari unsur-unsur PKI
c. Penurunan harga-harga (perbaikan ekonomi)
Dalam usaha menuntut TRITURA telah
gugur seorang mahasiswa Arief Rahman Hakim yang tertembus
peluru pengawal kepresidenan. Reaksi presiden terhadap aksi-aksi demo menentang
dirinya adalah membubarkan KAMI pada 25 Februari 1966. pada tanggal 11 Maret
1966 Presiden memimpin sidang kabinet yang membahas kemelut politik saat itu.
Namun presiden buru-buru pergi ke Bogor karena ada informasi di sekitar istana
terdapat pasukan-pasukan liar.
Tindakan Presiden ini mengundang tanggapan dari 3 perewira TNI
AD yaitu :• Mayor Jenderal Basuki Rahmat
• Brigadir Jenderal M. Yusuf
• Brigadir Jenderal Amir Mahmud
Yang menyusul ke Bogor dengan membawa pesan dari Jenderal Soeharto bahwa Soeharto siap mengatasi keadaan kalau presiden memberi kepercayaan padanya. Sehingga presiden kemudian memerintahkan ketiga jenderal dan Komandan resimen Cakrabirawa BrigJen Sabur untuk membuat konsep surat perintah kepada Jenderal Soeharto yang kemudian dikenal dengan nama Surat Perintah 11 Maret (SUPERSEMAR) dalam TAP MPRS No. IX/MPRS/1966 yang intinya berisi :
Memerintahkan kepada Letnan Jenderal Soeharto atas nama presiden untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketertiban serta stabilitas jalannya pemerintahn dan jalannya revolusi serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan presiden.
Langkah selanjutnya adalah Letjen Soeharto membubarkan PKI dan Ormas-ormasnya sebagai partai terlarang di seluruh Indonesia pada 12 Maret 1966 ditetapkan dalam TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966.
Dampak sosial politik dari G 30
S/PKI.
a.
Secara politik telah lahir peta
kekuatan politik baru yaitu tentara AD/ Angkatan darat
b.
Sampai bulan Desember 1965 PKI
telah hancur sebagai kekuatan politik di
Indonesia.
Indonesia.
c.
Kekuasaan dan pamor politik
Presiden Soekarno memudar
2.Konflik dan Pergolakan yang Berkaitan
dengan Kepentingan
1. Pemberontakan Andi Aziz
Peristiwa pemberontakan bekas tentara KNIL di bawah pimpinan Kapten Andi Azis terjadi di Ujung Pandang pada tanggal 5 April 1950. Adapun faktor yang menyebabkan pemberontakan adalah :
1. Menuntut agar
pasukan bekas KNIL saja yang bertanggung jawab atas keamanan di Negara
Indonesia Timur.
2. Menentang masuknya
pasukan APRIS dari TNI
3. Mempertahankan
tetap berdirinya Negara Indonesia Timur.
Karena
tindakan Andi Azis tersebut maka pemerintah pusat bertindak tegas. Pada tanggal
8 April 1950 dikeluarkan ultimatum bahwa dalam waktu 4 x 24 jam Andi Azis harus
melaporkan diri ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya,
pasukannya harus dikonsinyasi, senjata-senjata dikembalikan, dan semua tawanan
harus dilepaskan. Kedatangan pasukan pimpinan Worang kemudian disusul
oleh pasukan ekspedisi yang dipimpin oleh Kolonel A.E Kawilarang pada tanggal
26 April 1950 dengan kekuatan dua brigade dan satu batalion di antaranya adalah
Brigade Mataram yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Suharto. Kapten Andi
Azis dihadapkan ke Pengadilan Militer di Yogyakarta untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.
2.. APRA ( Angkatan Perang Ratu Adil )
Pada bulan Januari 1950 di Jawa Barat di kalangan KNIL timbul Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin oleh Kapten Westerling. Tujuan APRA adalah mempertahankan bentuk Negara Federal Pasundan di Indonesia dan mempertahankan adanya tentara sendiri pada setiap negara bagian Republik Indonesia Serikat. APRA mengajukan ultimatum menuntut supaya APRA diakui sebagai Tentara Pasundan dan menolak dibubarkannya Pasundan/negara Federal tersebut. Ultimatum ini tidak ditanggapi oleh pemerintah, maka pada tanggal 23 Januari 1950 di Bandung APRA melancarkan teror, APRA berhasil ditumpas. Ternyata dalang gerakan APRA ini berada di Jakarta, yakni Sultan Hamid II. Rencana gerakannya di Jakarta ialah menangkap beberapa menteri Republik Indonesia Serikat yang sedang menghadiri sidang kabinet dan membunuh Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sekertaris Jenderal Kementerian Pertahanan Mr. A. Budiardjo, dan Pejabat Kepada Staf Angkatan Perang Kolonel T.B Simatupang. Rencana tersebut berhasil diketahui dan diambil tindakan preventif, sehingga sidang kabinet ditunda. Sultan Hamid II berhasil ditangkap pada tanggal 4 April 1950. Akan tetapi, Westerling berhasil melarikan diri ke luar negeri.
3.. RMS, ( Republik Maluku Selatan )
Pada tanggal 25 April 1950 di Ambon diproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS) yang dilakukan oleh Dr. Ch. R. S. Soumokil mantan Jaksa Agung Negara Indonesia Timur. Soumokil sebenarnya terlibat dalam pemberontakan Andi Azis. Namun, setelah gagalnya gerakan itu ia melarikan diri ke Maluku Tengah dengan Ambon sebagai pusat kegiatannya. Untuk itu pemerintah mengutus Dr. Leimena untuk mengajak berunding. Misi Leimena tidak berhasil karena RMS menolak untuk berunding. Pemerintah bertindak tegas, pasukan ekspedisi di bawah pimpinan Kolonel A. E. Kawilarang dikirimkan ke Ambon. Dalam pertempuran memperebutkan benteng New Victoria, Letkol Slamet Riyadi tertembak dan gugur. Pada tanggal 28 September 1950 pasukan ekspedisi mendarat di Ambon dan bagian utara pulau itu berhasil dikuasai. Tanggal 2 Desember 1963 Dr. Soumokil berhasil ditangkap selanjutnya tanggal 21 April 1964 diadili oleh Mahkamah Militer Laut Luar Biasa dan dijatuhi hukuman mati.
3.Konflik dan Pergolakan yang Berkaitan
dengan Sistem Pemerintahan
1. PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia)
Munculnya pemberontakan PRRI diawali dari ketidak harmonisan hubungan pemerintah daerah dan pusat. Daerah kecewa terhadap pemerintah pusat yang dianggap tidak adil dalam alokasi dana pembangunan. Kekecewaan tersebut diwujudkan dengan pembentukan dewan-dewan daerah seperti berikut.
b. Dewan Gajah di Sumatra Utara yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolan.
c. Dewan Garuda di Sumatra Selatan yang dipimpin oleh Letkol Barlian.
d. Dewan Manguni di Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual.
Tanggal 10 Februari 1958 Ahmad Husein menuntut agar Kabinet Djuanda mengundurkan diri dalam waktu 5 x 24 jam, dan menyerahkan mandatnya kepada presiden. Tuntutan tersebut jelas ditolak pemerintah pusat. Setelah menerima ultimatum, maka pemerintah bertindak tegas dengan memecat secara tidak hormat Ahmad Hussein, Simbolon, Zulkifli Lubis, dan Dahlan Djambek yang memimpin gerakan sparatis. Langkah berikutnya tanggal 12 Februari 1958 KSAD A.H. Nasution membekukan Kodam Sumatra Tengah dan selanjutnya menempatkan langsung di bawah KSAD.
Pada tanggal 15 Februari 1958 Achmad Hussein memproklamasikan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sebagai perdana menterinya adalah Mr. Syafruddin Prawiranegara. Agar semakin tidak membahayakan negara, pemerintah melancarkan operasi militer untuk menumpas PRRI. Berikut ini operasi militer tersebut.
Untuk menumpas pemberontakan PRRI/Permesta dilaksanakan operasi gabungan yang terdiri atas unsur-unsur darat, laut, udara, dan kepolisian. Serangkaian operasi yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Operasi Tegas dengan sasaran Riau dipimpin oleh Letkol Kaharudin Nasution. Tujuan mengamankan instansi dan berhasil menguasai kota. Pekanbaru pada tanggal 12 Maret 1958.
2. Operasi 17 Agustus dengan sasaran Sumatera Barat dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani berhasil menguasai kota Padang pada tanggal 17 April 1958 dan menguasai Bukittinggi 21 Mei 1958.
3. Operasi Saptamarga dengan sasaran Sumatera Utara dipimpin oleh Brigjen Jatikusumo.
4. Operasi Sadar dengan sasaran Sumatera Selatan dipimpin oleh Letkol Dr. Ibnu Sutowo.
5. Penumpas pemberontakan Permesta dilancarkan operasi gabungan dengan nama Merdeka di bawah pimpinan Letkol Rukminto Hendraningrat, yang terdiri dari :
• Operasi Saptamarga I dengan sasaran Sulawesi Utara bagian Tengah, dipimpin oleh Letkol Sumarsono.
• Operasi Saptamarga II dengan sasaran Sulawesi Utara bagian Selatan, dipimpin oleh Letkol Agus Prasmono.
• Operasi Saptamarga III dengan sasaran Kepulauan Sebelah Utara Manado, dipimpin oleh Letkol Magenda.
• Operasi Saptamarga IV dengan sasaran Sulawesi Utara, dipimpin oleh Letkol Rukminto Hendraningrat
b. Persoalan Negara Federal dan BFO
Konsep Negara
Federal dan “Persekutuan” Negara Bagian (BFO/ Bijeenkomst Federal Overleg) mau
tidak mau menimbulkan potensi perpecahan di kalangan bangsa Indonesia sendiri
setelah kemerdekaan.
Persaingan yang
timbul terutama adalah antara golongan federalis yang ingin bentuk negara
federal dipertahankan dengan golongan unitaris yang ingin Indonesia menjadi
negara kesatuan. Dalam konferensi Malino di Sulawesi Selatan pada 24 Juli 1946
misalnya, pertemuan untuk membicarakan tatanan federal yang diikuti oleh wakil
dari berbagai daerah non RI itu, ternyata mendapat reaksi keras dari para
politisi pro RI yang ikut serta. Mr. Tadjudin Noor dari Makasar bahkan begitu
kuatnya mengkritik hasil konferensi. Perbedaan keinginan agar bendera
Merah-Putih dan lagu Indonesia Raya digunakan atau tidak oleh Negara Indonesia
Timur (NIT) juga menjadi persoalan yang tidak bisa diputuskan dalam konferensi.
Kabinet NIT juga secara tidak langsung ada yang jatuh karena persoalan negara
federal ini (1947).
Dalam tubuh BFO
juga bukan tidak terjadi pertentangan. Sejak pembentukannya di Bandung pada
bulan Juli 1948, BFO telah terpecah ke dalam dua kubu. Kelompok pertama menolak
kerjasama dengan Belanda dan lebih memilih RI untuk diajak bekerjasama
membentuk Negara Indonesia Serikat. Kubu ini dipelopori oleh Ide Anak Agung Gde
Agung (NIT) serta R.T. Adil Puradiredja dan R.T. Djumhana (Negara Pasundan).
Kubu kedua dipimpin oleh Sultan Hamid II (Pontianak) dan dr. T. Mansur
(Sumatera Timur). Kelompok ini ingin agar garis kebijakan bekerjasama dengan
Belanda tetap dipertahankan BFO. Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer
II-nya, pertentangan antara dua kubu ini kian sengit. Dalam sidang-sidang BFO
selanjutnya kerap terjadi konfrontasi antara Anak Agung dengan Sultan Hamid II.
Dikemudian hari, Sultan Hamid II ternyata bekerjasama dengan APRA Westerling
mempersiapkan pemberontakan terhadap pemerintah RIS. Setelah Konferensi Meja
Bundar atau KMB (1949), persaingan antara golongan federalis dan unitaris makin
lama makin mengarah pada konflik terbuka di bidang militer, pembentukan
Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) telah menimbulkan masalah
psikologis. Salah satu ketetapan dalam KMB menyebutkan bahwa inti anggota APRIS
diambil dari TNI, sedangkan lainnya diambil dari personel mantan anggota KNIL.
TNI sebagai inti APRIS berkeberatan bekerjasama dengan bekas musuhnya, yaitu
KNIL. Sebaliknya anggota KNIL menuntut agar mereka ditetapkan sebagai aparat
negara bagian dan mereka menentang masuknya anggota TNI ke negara bagian
(Taufik Abdullah dan AB Lapian, 2012.). Kasus APRA Westerling dan mantan
pasukan KNIL Andi Aziz
sebagaimana telah
dibahas sebelumnya adalah cermin dari pertentangan ini.
Namun selain pergolakan yang mengarah pada
perpecahan, pergolakan bernuansa positif bagi persatuan bangsa juga terjadi.
Hal ini terlihat ketikavnegara-negara bagian yang keberadaannya ingin
dipertahankan setelahKMB, harus berhadapan dengan tuntutan rakyat yang ingin
agar negaranegara bagian tersebut bergabung ke RI.
Upaya Pencegahan Disintegrasi
1. Hukum di Indonesia
harus tegas demi menjaga persatuan ( integrasi ), serta tidak menimbulkan
perpecahan ( disintegrasi ) wilayah dan ideologi.
2. Hukum di Indonesia
harus berdasarkan Pancasila dan tidak untuk mementingkan golongan ataupun
pribadi melainkan demi kepentingan negara.
3. Keadilan harus dijunjung tinggi, tidak ada penyalahgunaan hukum
ataupun penindasan.
4. Toleransi antar agama, suku, dan ras harus ditingkatkan.
5. Meningkatkan rasa nasionalisme.
6. Upaya integrasi
nasional harus dijalankan semaksimal mungkin dan dilakukan oleh setiap warga
negara.
Dampak atau Pengaruh Akibat Disintegrasi
Akibat Disintegrasi yaitu Mengancam keutuhan, persatuan dan kesatuan bangsa
yang bedampak pada pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Disintegrasi juga mengakibatkan terjadinya suatu pemisahan wilayah yang
akibatnya mereka ingin mendirikan negara sendiri.
Hilangnya kekayaan alam yang dimiliki wilayah yang memisahkan diri membuat
negara akan mengalami banyak kerugian baik materi maupun perekonomian negara.
Kesimpulannya kita harus meningkatkan rasa Nasionalisme kita sekaligus
mementingkan kepentingan negara dibandingkan mementingkan kepentingan golongan
ataupun pribadi. Contohnya sendiri banyak partai politik yang hanya
mementingkan partai sendiri dibandingkan tujuan utama mereka untuk membangun
negara semakin maju, hal ini memilukan walaupun tidak semuanya begitu.